Advertise

Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 November 2023

SETULUS CINTA DALAM IMPIAN

Aku berdiri termatung disana, pandanganku tajam kearah madding berisikan seputar pengumuman kegiatan sekolah, juga beberapa lomba. Suara bising yang berada dibelakangku tak kuhiraukan, mataku masih fokus menelisik selebaran info yang terpamapang diantara beberapa pengumuman lain. Tepat, dipojok kanan madding tersebut, aku menemukan pengumuman yang sudah kutunggu sejak lusa kemarin. Font bertuliskan ‘Pertukaran Pelajar’ terpampang jelas dihadapanku. Meski, aku harus menjijitkan jemari kakiku untuk membaca pengumuman tersebut. Butuh beberapa menit untuk mendalami persyaratan yang tertera dalam poster tersebut. Buku kecil kukeluarkan dari sakuku untuk mencatat segala persyaratan yang harus kupersiapkan.
“Faizah, jangan terlalu serius membacanya, bentar lagi waktu istirahat akan habis,” Fina memperingatkanku.
Aku mengangguk, sambil tersenyum kecil. Ucapannya benar, sudah seharusnya, aku kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya.
Dengan langkah gontai, aku kembali ke kelas. Pikiranku masih melayang ke negeri impianku, Inggris. Seakan aku memasuki lorong Harvard University, bercengkrama bersama mahasiswi lain yang menjadi teman sekelasku. Ah, itu masih dalam dunia impianku. Namun, hati ini terasa yakin bahwa diri ini akan tiba di universitas tersebut suatu saat nanti. Saat Allah menghendakinya.
****
“Faizah, tolong bantu Ibu. Kuenya dimasukkan ke dalam plastik!” seru Ibu dari dapur.
Aku segera menutup buku bacaanku, “Iya, Bu!” sahutku sambil berjalan menuju dapur.
Aku, dan keluarga kecilku tinggal di rumah yang cukup sederhana. Ibuku penjual kue, sementara, ayah bekerja di perantauan. Dan hanya pulang selama dua minggu sekali. Syifa, adalah adikku satu-satunya. Ia mengalami kelumpuhan dibagian tubuh sebelah kirinya. Berbicaranya masih terbata-bata, usianya menginjak tujuh tahun. Ibulah, yang selalu mengajari banyak hal di rumah, ia tidak sekolah.
“Tumben, Ibu buat kue banyak,” ujarku, sambil emnatap Ibu yang tampak sibuk.
“Alhamdulillah, ada yang memesan untuk acara syukuran,” jawab Ibu.
Aku hanya termangut-mangut, “Ibu, akhir pekan nanti. Faizah izin nggak jaga warung dulu ya, Bu..”
“Kenapa?” tanyanya sambil menatapku heran.
“Faizah mau ikut tes pertukaran pelajar ke Inggris,” jawabku dengan wajah yang berseri-seri.
Ibu menghentikan pekerjaannya sejenak, raut wajahnya tampak berubah. Namun, aku berusaha tenang. “Ibu, tidak mengizinkan,” jawabnya tegas.
“Mengapa Bu?” tanyaku heran.
“Ibu tidak mengizinkan! Harusnya kamu tahu diri, kalau kita ini siapa Faizah?” jawab Ibu tegas. “ Ibu pergi ke warung sebentar, kamu teruskan pekerjaanmu,” Ibu berlalu, meninggalkanku yang menatapnya dalam kebingungan.
Perlahan, pelopak mataku sudah tidak dapat menampung air mata. tangisku pecah. Hingga detik ini aku masih belum memahami alasan Ibu, yang selalu melarangku untuk dapat bermimpi tinggi, untuk dapat menaklukan dunia. Bukankah, semua orang berhak bermimpi? Bukankah semua orang berhak mewujudkan cita-citanya? Salahkah aku? Apa hanya keluargaku berasal dari keluarga yang tak mampu? Apakah yang salah? Bukankah aku juga berhak mewujudkan impianku yang ku punya.
****
Hari berlalu begitu cepat. Perasaan ini masih tak menentu. Ujian pertukaran pelajar akan segera tiba. Diri ini bertekad untuk tetap mengikutinya, meski hati terasa berat untuk melakukannya. Hingga detik ini, hanya do’alah yang dapat kulakukan hingga detik ini, biarlah do’a yang bertarung dilangit-Nya yang Arsy, dan do’alah yang menentukan segalanya.
Dan akhirnya, tibalah hari Ahad, aku memutuskan untuk pergi. Ibu hanya berdiam tanpa mengucapkan kata sepatah pun saat aku pergi. Aku berusaha, tegar, juga fokus untuk ujian yang akan kuhadapi.
Tepat pukul sepuluh pagi, ujian selesai. Aku menghembuskan nafas lega.
“Faizah, mau pulang bareng nggak?” tanya Fina.
Aku menggelang dengan santun, “Makasih Fin, aku pulang sendiri aja.”
Fina berlalu. Tak lama hpku berdering. Tetanggaku mengabarkan bahwa Ibu ditemukan terjatuh di warung. Dengan panik, aku segera mencari transportasi pulang. Pikiranku kembali mengacau, rasa bersalah datang menyelimutiku. Ibu masih tergeletak, saat aku tiba di rumah sakit. Hanya ucapan maaf, yang terlontar dari mulut ini.
Dua hari, aku menunggu Ibu di rumah sakit. Syifa, kutitipkan pada tetanggaku selama diriku menunggu Ibu di rumah sakit. Pada akhirnya, saat Ibu mulai siuman. Aku menegtahui, berbagai alasan, Ibu tidak membolehkanku untuk mengikuti pertukaran pelajran. Alasannya, sederhana. Bahkan tidak pernah ku pikirkan sebelumnya. Ibu hanya menginginkan aku menjadi orang yang bermanfaat bagi orang disekitarku, cukup hanya itu, bahkan menjadi tidak perlu muluk-muluk untuk menjadi orang yang sukses. Kehidupan yang sederhana di dunia, akan lebih membahagianku Ibu. Daripada, aku menggapai segala mimpiku yang ada di dunia ini.
Tidak ada gunanya, saat aku bisa menggapai segala impianku. Namun, rasa bangga semakin bertambah pada diri ini. Itulah yang dikatuti oleh Ibu. Ibu hanya menginginkan sesuatu yang sederhana dalam hidup ini. Bukan sekedar kesengan duniawi saja.
“Pergilah nak, gapailah semua impianmu. Hanya saja, jangan pernah lupa akan jati dirimu saat kamu bisa menggapai semuanya. Hanya itu yang Ibu takutkan,” ujar Ibu sambil terisak.
“Tidak Bu, aku akan menuruti semua nasihat Ibu. Aku janji, akan jadi orang baik,” balasku. Mungkin, dengan segala perubahan sikapku, Ibu menilai bahwa aku semakin melupakan siapa jati diriku.
“Tidak, nak. Gapailah segala impianmu. Gapailah apa yang kamu cita-citakan. Hanya saja, ingat dengan semua pesan yang telah ibu sampaikan,” ujar Ibu, sambil tersenyum.
****
Hari ini, aku melangkahkan kakiku di lorong Harvard University. Tepat, seperti impianku setahun yang silam. Saat, diriku masih duduk di kelas tiga SMA. Tentang pertukaran pelajar itu, Alhamdulillah semuanya berjalan lancar. Dari situlah, semangatku semakin membara. Namun, aku tidak akan pernah lupa akan nasehat Ibu. Setelah lulus nanti, aku akan mengabdikan diri ini untuk masyarakat. Menjadi manusia yang bermanfaat dan berguna.

Selasa, 11 Juli 2023

MERINDU DIBALIK SENJA

           


               Ombak tampak menyapu lembut pesisir pantai, pasir putih bak perak yang berkilauan saat sinar matahari menyentuhnya. Hening, hanya desis ombak yang bergemeruh setiap waktunya. Biru yang tenang, namun menyimpan banyak misteri tentang panorama alam yang memukau.
            Aku berlari kencang, sambil menenteng sepatu hitamku yang tampak lusuh dan kusam., tanpa peduli sedikit pun dengan deburan ombak yang menabrak jemari kakiku. Tanpa mengucap salam, aku menerobos masuk kedalam rumah. Mencari Bunda yang tengah menibukkan diri dengan pekerjaan rumahnya.
            “Bunda!” seruku dengan nafas tersenggal, seraya menyodorkan sehelai kertas.
            Bunda menerimanya, matanya terbelak wajahnya pun sumringah menatap selembar kertas yang baru saja kuberikan. Tanpa sepatah kata pun, ia tersenyum, seraya memelukku dengan bahagia. “Anak Bunda pandai,” pujinya bangga. Hari ini, aku berhasil mendapatkan nilai 10 untuk ujian harianku.
            Aku menghela nafas bahagia, setidaknya aku memberikan yang terbaik untuk kedua orang tuaku. Rumahku memang sederhana, tak jauh dari pesisir pantai. Ayahku jangan ditanya, beliau adalah seorang pelaut handal yang selalu berlayar menjelajahi perairan dinusantara ini. Hanya dua bulan bahkan tiga bulan sekali ayah kembali ke rumah. Setelah itu pergi melaut lagi. Awalnya, kakek dan nenek menyarankan kami untuk pindah rumah, berganti pekerjaan yang lebih menjamin keselamatan. Tapi, Ayah dan Bunda selalu berkata bahwa hati mereka telah jatuh hati pada laut.
            Sore tiba, sinar matahari tampak bersinar terang diufuk sana. Bunda terlihat berkemas. Aku tahu, dalam beberapa menit lagi Bunda akan mengajakku ke tepi laut.
            “Halimah, ayo ikut Bunda!” serunya.
            Aku mengangguk. Setiap hari, Bunda selalu mengajakku ketempat istimewanya, tepi pantai yang menghadap kearah laut bebas, dan menatap senja yang akan tenggelam tergantikan oleh malam yang gelap. Ya, senjs.
            “Ini..” Bunda menyodorkan kotak untukku.
            Ah! ternyata itu adalah hadiah ulanganku kemarin, seuntai kalung yang dirangkai dengan indah dari beberapa karang juga bintang laut.
            “Terima kasih!”
            Bunda tersenyum manis.
            “Sampai kapan Bunda akan terus memandqangi senja?” tanyaku tiba-tiba.
            “Hingga akhir hayat nanti, Halimah. Senja memiliki arti yang besar bagi Bunda,” jawabnya yakin. “Senja, meski tak semua mau menatapnya, namun ia mempunya ribuan arti abgi Bunda. Menikkmati kebesaran Allah yang tak akan pernah ada yang menymainya,” ujarnya pelan.
            Bahkan, hingga kini aku masih tak dapat memahami mengapa Bunda begitu menyukai senja. Mengapa haru senja? Tapi, Bunda hanya menjawab bahwa itu hanyalah salah satu kebesaran Allah yang wajib disyukuri.
            Hari demi hari terus berlalu, bak air yang selalu mengalir dari hulu kehilir, aku tetap saja penasaran akan arti senja bagi Bunda. Hingga suatu hari, hal yang tak pernah kuharapkan datang menimpaku, Bunda dikabarkan hilang tenggelam, kapal ikan yang dinaikinya hancur diterkam badai laut yang kuat. Aku berlari kepesisir pantai berteriak memanggil Bunda untuk kembali. Namun, semua itu mustahil, ia telah kembali kepangkuan-Nya.
            Haruskah Bunda pergi dengan cepat, seperti sernja yang berlalu sangat cepat Bahkan, disaat aku belum mendapatkan arti senja bagi Bunda. Ayah menenangkanku, seraya berkata. “Jangan pernah menyalahkan arti senja, nak.. itu sangat berrarti untuk Bunda,’ ujarnya pelan, ayah menodorkan buku yang sudah tampak usang. Buku itu milik Bunda.
            Aku membukanya, disampingku ayah berusaha tegar menerima segala takdir yang sudah terjadi pada keluarga kami.
            Senja…
            Terima kasih ats semuanya, saat aku dapar menyatukan cinta dengan Rian, suamiku, saat Halimah lahir dan dapat melihat dunia dengan mata indahnya, saat aku selamat dari maut yang nyaris menimpaku. Meski aku tahu, disaat senja pun duka pun datang bersamaan, saat mama dan papa kembali padaMu. Saat rumah ini hancur oleh tepisan ombak. Tapi, aku bersyukur, saat aku masih bisa menatapu diatas sana, saat kau mengajarkan arti keindahan hidup.
            Terima kasih Senja..
            Aku menitikan air mata, menahan sakit yang amat mendalam, aku berusaha tegar menerima segala sesuatu yang telah terjadi.
            Semenjak, kejadian itu ayah mengajakku pindah ke kota. Mencoba melupakan memoriam yang terus menghantui pikiranku dan memulaik kehidupan baru disana. Senja, terima kasih telah mengajarku dan Bunda arti keindahan hidup.

Sabtu, 08 Juli 2023

Belaian Kasih


 

Pepohonan begitu lebat sepanjang perjalanan, bergoyang mengikuti arah angin yang berhembus lembut. Menambah keadaan udara semakin asri. Deretan pohon lebat itu berwarna hijau, berjejer rapi seperti membentuk barisan. Intan berjalan santai, sekedar untuk menikmati suasana desanya yang sudah lama tidak ia kunjungi.

Sesaat, Intan berteduh di salah satu pohon besar dan rindang. Ia menatapnya dan memperhatikan dengan seksama. Benar apa yang dikatakan salah satu pegawainya dulu. Keluarga adalah tempat kembali bahkan disaat dirinya tidak dapat memberi apa yang telah diberinya dahulu.

:::::

Intan lahir diantara keluarga yang sederhana, bukan miskin namun segala hasil nafkah kedua orang tuanya hanya cukup untuk kebutuhan hari-harinya saja. Intan tumbuh seperti halnya anak-anak yang lainnya, ia dapat bermain bahagia bersama teman-teman kecilnya, ia bisa berangkat ke sekolah di setiap pagi.

Kini Intan tumbuh menjadi seorang pengusaha yang sukses di kotanya. Ia tinggal seorang diri di rumah mewahnya, kedua orang tuanya tidak mau untuk diajak tinggal di kota. Memilih untuk menghabiskan sisa hidup di desa tempat Intan lahir.

Kesuksesan Intan merupakan hasil kerja kerasnya dulu, ia memang tidak menempuh pendidikan yang tinggi. Karena, disaat usia remaja Intan memutuskan untuk mengadu nasib ke kota dengan hanya berbekal uang hasil celengan keluarga yang diberi oleh kedua orang tuanya. Kini kafe yang dikelola Intan banyak dikunjungi oleh para pelanggannya yang berkalangan atas.

“Mbak Intan,” seseorang memanggilnya.

Intan pun sontak menoleh, “Ya, kenapa Mila?” tanyanya pada pegawainya yang memanggil. “Apa ada masalah?”

“Tidak Mbak Intan, hanya saja orang tua Mbak menelfon ke telfon cafe ini, sudah beberapa kali dan menanyakan Mbak. Alangkah baiknya jika mbak Intan menghubungi kedua orang tua Mbak,” ujar Mila.

“Baik,” sahut Intan. “Terima kasih, Mil.”

Intan segera menuju kantor pribadinya, disana ia segera menghubungi kedua irang tuanya di kampung.

“Assalamu’alaikum,” salam seseorang di sebrang sana.

“Wa’alaikum salam,” jawab Intan. “Ini Intan Bu, Ibu apa kabar?”

“Ya Allah Intan, iya ibu dan bapakmu Alhamdulillah sehat. Kamu sehat nak? Apa sedang ada masalah disana? Mengapa jarang memberi kabar?”

“Alhamdulillah, Intan sehat juga ibu. Maafkan Intan ya Bu, jarang memberi kabar. Akhir-akhir ini Alhamdulillah cafenya banyak dikunjungi orang dan pelanggan Bu. Terkadang, saat Intan pulang, Intan langsung beristirahat.”

“Mana Intan,” suara bapak di sebrang terdengar jelas di telfon.

“Bapak, apa kabar?”

“Baik nduk, Alhamdulillah bapak sehat. Kapan kamu pulang? Bapak kangen sama Inran.”

“Iya pak, Intan juga sebenarnya kangen banget sama bapak dan ibu. Tapi, Intan belum bisa pulang bulan ini.”

Tak terasa tiga puluh menit, Intan menelfon kedua orang tuanya. Melepas rindu di tengah kesibukan Intan yang begitu melelahkan.

Cafe yang dirintis dengan jerih payah Intan, kini ramai dikunjungi oleh para pelanggan. Membuat cafe ini tidak pernah sepi, selain makanan yang enak pelayanannya pun juga sangat ramah.

Namun, tidak semua usaha berjalan mulus seperti yang diinginkan oleh Intan. Saat tengah malam, handpone Intan berbunyi.

“Mbak Intan, Mbak Intan..” Naura, salah satu pegawai Intan bersorak cemas.

“Kenapa Naura, coba jelaskan dengan tenang!”

“Cafenya, mbak.. terbakar!”

Intan tercengang, baru saja ia ingin beranjak tidur setelah membersihkan dirinya. Ini sudah tengah malam, namun Intan justru mendapatkan kabar yang buruk. Dengan sigap, Intan segera meluncur ke cafe yang hanya berjarak dua kilometer dari rumahnya.

“Bagaimana bisa terjadi?” tanya Intan panik.

“Entahlah mbak, baru saja saya tiba di rumah. Dari kejauhan saya melihat asap hitam yang tebal. Ternyata, kakak saya yang mengabarkan kalau asap kebakaran itu berasal dari cafe ini, Mbak,” jawab Naura.

Kobaran api semakin membesar. Para warga yang hadir di tempat kejadian, berusaha untuk membantu memadamkan api dengan alat seadanya. Mobil pemadam kebakaran belum tiba. Usaha yang dilakukan warga tidak membuahkan hasil, api semakin berkobar. Beberapa orang yang bermukim di sekitar cafe tersebut menjadi panik, khawatir bila apinya menjalar ke tempat lain.

Intan terduduk, tangannya ia telengkupkan ke wajahnya.

Mengapa semua terjadi begitu cepat? Batin Intan dalam hati.

Waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Mobil pemadam kebakaran sudah tiba satu jam yang lalu. Akhirnya, dengan segala usaha yang dilakukan oleh warga dan petugas pemadam kebakaran api pun dapat dipadamkan.

Intan yang masih terlihat shock, dibawa ke kediaman salah satu pegawainya. Naura, rumahnya hanya berjarak seratus meter dari cafe tersebut.

“Tenang, mbak Intan.. semua akan baik-baik saja,” Naura berusaha menenangkan Intan. Ia menyodorkan segelas air putih agar Intan minum.

Intan menerimanya, ia meminumnya dengan perlahan. “Keluargaku pasti akan kecewa, saat aku pulang nanti.”

“Tidak Mbak, Mbak Intan salah. Keluarga Mbak pasti akan menerima bagaimana pun keadaan Mbak Intan, bahkan dikala Mbak Intan kesusahan,” ujar Naura.

Dalam sekejap, api dapat membakar kedai kafe milik Intan. Yang tersisa hanyalah puing-puing bangunan yang sudah rata dengan tanah. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan, semua prabotan cafe, prabotan masak dan bangunan yang berdeseain kan unik berubah menjadi abu. Semua hangus dalam sekejap. Saat ini Intan mengalami kerugian yang cukup besar.

Keesokannya, Intan memilih untuk pulang ke rumahnya yang di desa sejenak. Menenangkan pikiran, melepaskan rindu yang dalam. Meski, masih tersimpan rasa malu yang besar saat ia kembali ke keluarganya.

“Mbak Intan!” pekik Anis, adiknya. Ia berlari memeluk Intan. “Ibu, bapak.. Mbak Intan pulang!” Anis membantu Intan membawakan barang-barangnya.

Intan memasuki rumah dengan wajah tertunduk. Sang ibu datang dengan tergopoh-gopoh memeluk Intan dengan hangat. Intan terisak.

“Maafkan Intan Bu. Intan kembali dengan membawa kerugian yang begitu besar,” ujar Intan. “Maafkan Intan Ibu..”

“Kamu kembali ke sini saja, Ibu sudah cukup bahagia Intan,” ujar Ibu sambil mengelus bahu Intan yang berguncang karena tangisannya.

Anis mengantarkan Intan ke kamarnya. Entah apa yang ada dipikiran Intan saat ini, ia terlihat lebih banyak melamun. Namun, untunglah, keadaan Intan semakin hari semakin membaik. Setiap saat ia membantu pekerjaan rumah, berusaha mendamaikan pikiran dan hatinya,

Sore ini Intan berjalan-jalan di sekeliling kampungnya. Pepohonan lebat tertanam di sepanjang jalan setapak yang ia lalui. Pohon yang selalu memberikan manfaat yang banyak bagi orang banyak. Ah, Intan ingat akan sepenggal cerita yang pernah diceritakan oleh gurunya dulu.

Pohon itu ibarat orang tua.

Ada anak kecil yang ia selalu tertawa dan bercanda ria dibawah pohon yang rindang, memainkan dedaunnanya maupun menaiki batangnya. Disaat pohon itu berbuah, anak yang sudah mulai tumbuh remaja itu pun mengambil buah yang dapat dikonsumsi oleh dirinya. Saat anak itu mulai beranjak dewasa, pohon bahkan rela memberikan batangnya hingga habis untuk dimanfaatkan anak itu dan dijual. Dan lihatlah, disaat tua dan tidak ada tempat untuk bersandar anak yang sudah menua itu pun kembali ke pohon itu, meski hanya duduk diatas gundukan bekas tebangannya dahulu.

Sama seperti iorang tua, sejak kecil merekalah yang mengayomi dengan sabar. Hingga tumbuh menjadi anak remaja, orang tua akan selalu memberikan apa yang dapat diberi, bahkan ketika dewasa, orang tua pun rela memebri hartanya untuk anaknya demi masa depannya. Dan disaat masalah menimpa atau masa tua tiba, orang tua pun bahkan bersedia menerima anaknya kembali dalam berbagai keadaan pun.

Hari ini, Intan berjanji, ia akan menghabiskan umurnya untuk berbakti kepada orang tuanya.

Kamis, 07 November 2019

SEMUT DAN TEKNOLOGI MODERN

 


Tahun dua ribu enam ratus masehi, saat kecerdasan manusia diatas rata-rata. Serta, tekhnologi canggih menjadi andalan para makhluk hidup di Bumi.
Asap hitam mengepul hampir disetiap sudut kota, memenuhi langit-langit udara yang terlihat terik karena sengatan matahari yang menyilaukan. Suara bising terdengar memekakan telinga, membuat orang enggan untuk melangkahkan kakinya keluar rumah. Bau tak sedap pun tercium dimana-mana, membuat rasa mati hidung saat orang mencium baunya. Entah, darimana bau ini berasal. Para khalifah bumi dan semut-semut berlalu hilir mudik, menyibukkan diri mereka untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papannya.
Sekian orang sudah membuka tokonya sejak pagi buta, mengais rezeki untuk memenuhi kebutuhan hdup yang semakin tinggi tarif harga didunia. Uang tak lagi laku di zaman ini, semua transaksi dilakukan secara otomatis, melalui data yang berada disetiap tablepad canggih, yang kini dimiliki setiap orang. Bahkan jika ingin memberi uang terhadap pengemis pun, tinggal menentukan berapa tarif yang akan diberikan. Maka, nominal pada tablepad milik pengemis pun akan bertambah secara otomatis. Begitu pula, saat menaiki kendaraan umum, hanya cukup dengan menyamakan kode, lalu mentransfer nominal yang dibutuhkan pada tablepad milik kendaraan umum tersebut.
Kulirik jam digitalku sesaat, hari semakin terik. Padahal, waktu masih menunjukkan pukul enam pagi, namun, matahari sudah serasa membakar ubun-ubun di kepala ini. dengan sigap aku menaiki XP-eight milikku. Ya, XP-eight sejenis mobil layang yang beroperasi diudara dengan berbahan bakar oli dan campuran bahan kimia lainnya. Manusia dan semut atau Ma-Ant tidak perlu lagi susah-susah melakukan aktivitas padatnya, hanya berbicara dengan remote control tombol maka semua akan terlaksana secara otomoatis, ya maklum saja kabel-kabel transparan menjalar di setiap rumah dan jalan-jalan besar.
Dengan berkembangnya tekhnologi yang canggih, manusia menjadi lebih sering di rumah. Mengerjakan segala pekerjaannya dengan mudah dan praktis. Manusia, yang memang memiliki watak yang tamak, keras dan egois pun menjadi berlomba-lomba menciptakan tekhnologi yang lebih canggih. Spesies Ma-Ant pun tak kalah saingnya dengan para manusia, hanya saja, menurutku mereka dapat mengatur segala keinginan yang mereka punya untuk kepentingan bersama, ya mereka terlihat lebih bijak ketimbang manusia sendiri.
“Pagi sekali berangkat sekolahnya,” seseorang menyapaku, aku sedikit terhentak, melihat kedatangan Chu tiba-tiba.
Aku menaikan alisku, sembari menyahut sapaannya, “Menghindari terik matahari yang semakin menyengat,” sahutku asal.
Chu hanya bersungut-sungut sambil beranjak pergi. Aku menatapnya nanar. Chu, ia adalah tetanggaku yang tinggal lebih dahulu dari keluargaku. Jangan kaget, Chu berasal dari keluarga semut. Entahlah, hingga detik ini, aku pun masih bertanya mengapa dunia ini bisa dihuni oleh dua makhluk yang berbeda, manusia dan semut. Banyak sejarahwan yang mengatakan bahwa semut bisa hidup bak layaknya manusia normal, diakibatkan oleh ulah ilmuwan sendiri yang mengalami kegagalan dalam penelitiannya.
Lima ratus tahun silam, seperti yang dikatakan banyak sejarahwan dan ilmuwan kelas dunia. Dunia terkena wabah berbahaya, gas kimia yang berasap putih tebal berhembus diseluruh penjuru dunia. Semua semut dengan berbagai spesies di dunia mengalami kepunahan, dan tidak menyisakan sedikit pun serangga dengan jenis semut di dunia ini, akhirnya dua puluh tahun kemudian, seorang ilmuwan sekaligus  peneliti dari Jepang, Mr. Xhin melakukan sebuah eksperimen yang mengejutkan dunia. Ia menyatakan akan membuat semut kembali hidup ditengah-tengah kehidupan manusia. Meskipun, banyak yang menentang dan tidak percaya lagi, setelah percobaannya menghidupkan gajah purba gagal. Ia bersikeras untuk membuktikan hasil dari percobaannya. Benar, lima tahun lebih melakukan usaha yang panjang, semut itu berhasil hidup. Ia mendapat pujian banyak orang. Meskipun, secara logika, struktur badan semut mungil dan sulit untuk memperbaikinya, bahkan memasuki sel-sel kedalam tubuhnya.
Tapi, ia tidak menyadari bahwa ada banyak kesalahan yang telah ia perbuat dan menyebabkan semut itu tumbuh dengan cepat, seperti ukuran manusia. Semut bak manusia itu yang kini dijuluki dengan Ma-Ant (MagicAnt) akhirnya berkembang pesat, dan disaat yang sama empat puluh persen manusia meninggal akibat gas racun yang dihirupnya. Membuat, populasi manusia tercampur dengan populasi semut yang berkembang biak dan hidup seperti manusia. Hal ini juga membuat banyak perselisihan dalam alur kehidupan.
Namun, setidaknya aku masih bersyukur melihat hubungan para manusia dengan Ma-Ant terlihat damai, dan seperti menghargai satu dengan yang lainnya. Meskipun, masih banyak perbedaan yang terlihat jelas dalam sifat, fisik, kebijaksanaan dan hal-hal lainnya. Bahkan, hal inilah yang akan mengancam Bumi dari peradaban dunia.
Aku merasakan dadaku sedikit sesak, mesin tubuhku memberi tahuku bahwa oksigen yang kusimpan akan segera habis. Aku berniat untuk membeli persedian oksigenku jika tidak, aku bisa mati terkapar saat itu juga.
Kuambil tombol kecil berbentuk bulat, sejenis remot yang mengontrol laju XP ini. “XP, menuju apotek,” ujarku terhadap remote control XP-eight. XP-eight melaju dengan kecepatan penuh, menuju apotik penjual oksigen.
Saat ini, oksigen bukan lagi hal gratis yang dihasilkan oleh pohon seperti 1 abad silam. Sebagaimana, buku ensiklopedia yang pernah kubaca, bahwa oksigen itu dihasilkan oleh pepohonan hijau dan gratis. Namun, sangat berbeda dengan zaman sekarang, oksigen didapatkan dengan tarif yang amat mahal, bahkan aku tidak pernah melihat pohon langsung dimasaku ini. Aktivitas tulis menulis dilakukan dengan layar transparan yang akan muncul dihadapan kita apabila kita menghendakinya.
Aku memakirkan XP-eight ku di atas gedung sekolah. Dengan rasa enggan dan malas, aku melangkahkan kakiku menuju kelas. Tanpa harus menggerakan kakiku, Copper Board, sejenis papan kecil melayang kerahku dan mengantarku ke kelas yang ku maksud. Zaman ini, semua manusia dan Ma-Ant berlomba-lomba untuk menyiptakan teknologi yang baru dan canggih, tanpa berpikir bahwa hampir segala alat yang diciptakan itu membuat manusia semakin malas untuk bergerak dan beraktivitas. Ilmuwan dan tokoh besar sekarang, mana ada yang ingin mempedulikan keadaan dan msds depan manusia. Mereka, hanya berlomba-lomba menciptakan tekhnologi canggih untuk kepentingan materi dan ketenaran. Dengan ketamakannya, mereka membuat manusia menjadi makhluk yang malas, kerna hampir setiap pekerjaannya dibantu oleh alat dan tekhnologi yang canggih.
Dikelas, Yhun, si Ma-Ant menyapaku ramah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Pagi-pagi saja sudah malas,” ejeknya sambil berkacak pinggang.
Kelas masih terlihat sepi, hanya ada segelintir manusia dan Ma-Ant yang tampak sibuk dengan kesibukannya masing-masing. Aku memainkan tablepad-ku dengan asal. Berita hari ini mengabarkan bahwa para Ma-Ant sedang menyimpan persedian makanan di Saturnus. Mereka memprediksi bahwa, tidak lama lagi bumi akan hancur terbakar akibat panas matahari yang semakin tidak kekontrol. Sementara, disaat yang sama para manusia sedang mencari solusi dan menciptakan alat untuk menahan sinar matahari yang masuk ke bumi.
Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Masalah bumi semakin rumit, kemungkinan besar perang dunia antara manusia dan Ma-Ant akan kembali terjadi apabila mereka tidak memiliki keputusan yang sama. Manusia yang bersikeras dengan tekhnologi yang sedang dirancang untuk menghadapi bahaya matahari terhadap bumi. Sementara, para Ma-Ant yang menguatkan kerjasamanya dalam penimbunan bahan bakar dan pangan di Saturnus.
“Vi, coba kau perhatikan berita terbaru diacara ‘Hot News’” ujar Yhun serius.
Aku menuruti permintaannya, kualihkan konsentrasiku untuk mendengarkan kabar terbaru pagi ini. Sang pembaca berita menerangkan bahwa matahari mengalami kemajuan beberapa meter mendekati putaran poros bumi. Dengan demikian, ozon buatan tidak dapat lagi menjadi benteng pertahanan bumi. Aku menganga mendengarnya. Jika demikian, langkah apalagi yang akan dilakukan oleh ilmuwan dan peneliti untuk menyelamatkan bumi.
Keadaan kelas menjadi riuh, semua berhamburan. Yhun sedikit geram, saat ia masih melihat diriku masih duduk mematung di tempat. Aku mengernyitkan dahi, menandakan bahwa aku tidak memahami hal yang sedang terjadi. Bumi dan manusia sedang terancam, hanya kata itulah yang masih membekas dalam pikiranku setelah menonton berita terbaru pagi ini.
::::::
Dalam hitungan waktu, panas matahari semakin merajalela. Bersinar tak tentu waktu, membuat orang tersengat panas yang membakar apabila terkena sinar matahari secara langsung. Hari terus bergulir mengikuti zaman yang makin berkembang dengan segala kecanggihan tekhnologinya. Secara berangsung-angsur, para Ma-Ant mengungsi menuju Saturnus dengan pesawat andalannya. Mereka bergotong royong, bahkan saling bahu membahu membawakan barang yang akan dipindahkan ke Saturnus.
Aku sedikit heran melihat pemandangan yang sangat langka ini. dengan mudahnya dan tawa bahagianya, mereka dengan senang hati bergotong royong memindahkan segala barang dan cadangan bahan bakar serta makanannya ke tempat lain. Aku yang menyaksikan pandangan ini terkejut. Manusia saja, tidak akan pernah mau menolong antara satu dengan yang lainnya. Bagaimana para Ma-Ant itu dapat melakukannya dengan semudah itu.
Sementara, disaat yang sama sekolompok manusia dan Ma-Ant sedang mendebatkan solusi dari permasalahan rumit ini. Tak ada seorang pun yang mau mengalah, mereka saling berdebat menyatakan bahwa teknologi hasil temuannyalah yang pantas untuk menyelamatkan bumi. Hingga, pada akhirnya konferensi antar ilmuwan itu tidak menghasilkan sesuatu, justru membuat mereka menyimpan dendam dan rasa iri antara satu dengan yang lainnya. Mereka juga tidak setuju dengan ide para Ma-Ant yang akan memindahkan tempat kehidupan dan peradaban.
Tak lama, karena perdebatan semakin menjadi. Perang antar manusia dan Ma-Ant pun tak dapat dihindarkan. Mereka berniat menyingkirkan manusia yang telah membuat kekacauan dimuka bumi ini. hari yang ditentukan tiba, berbondong-bondong manusia dan Ma-Ant berhadapan untuk saling membunuh dan memusnahkan para manusia yang masih tersisa di muka Bumi. Mereka menganggap, manusia hanyalah makhluk kecil yang tak berdaya dan menrusak buumi dengan segala ulah dan tingkah laku yang telah mereka lakukan.
Aku berlari sekuat tenaga, mencari tempat perlindungan. Namun, aku hanya bisa pasrah, saat diriku terpojok di sudut gang.
“Liv, bangun! Tuh, kue mu dimakan semut! Makanya, jangan makan sambil tidur,” seseorang menggoyang-goyangkan tubuhku.
Mataku mengerjap-ngerjap, tiba-tiba aku berada di kamar. Mungkinkah, tadi aku pingsan saat diriku akan dibawa oleh Ma-Ant. Tapi ini dimana? Aku memperhatikan keadaan disekelilingku dengan seksama.
Aw! Aku menjerit pelan. Seekor semut merah menggigit lenganku. Aku hendak, mematikannya. Namun, bukankah itu tindakan yang kejam. Bukankah semut memberi banyak pelajran berharga bagi manusia. Untuk tidak tamak, dan egois, untuk selalu membantu dan menyapa antara satu dengan yang lainnya. Makhluk manalagi yang apabila bertemu dengan makhluk sesamanya, menyapa dan berpelukan hangat. Bukankah semut juga salah satu hewan yang keberadaannya sangat dihargai oleh Nabi Sulaiman.
Aku tersenyum sendiri, Milla terlihat bingung dengan tingkah lakuku.
“Kau tahu, aku tak bisa membayangkan saat tekhnologi semakin maju, dan manusia akans emakin malas untuk beranjak dari tempat duduknya. Bahkan, membuat manusia lupa akan fitrah dan tugasnya sebagai Khalifah Bumi,” ujarku bijak.