Advertise

Selasa, 11 Juli 2023

MERINDU DIBALIK SENJA

           


               Ombak tampak menyapu lembut pesisir pantai, pasir putih bak perak yang berkilauan saat sinar matahari menyentuhnya. Hening, hanya desis ombak yang bergemeruh setiap waktunya. Biru yang tenang, namun menyimpan banyak misteri tentang panorama alam yang memukau.
            Aku berlari kencang, sambil menenteng sepatu hitamku yang tampak lusuh dan kusam., tanpa peduli sedikit pun dengan deburan ombak yang menabrak jemari kakiku. Tanpa mengucap salam, aku menerobos masuk kedalam rumah. Mencari Bunda yang tengah menibukkan diri dengan pekerjaan rumahnya.
            “Bunda!” seruku dengan nafas tersenggal, seraya menyodorkan sehelai kertas.
            Bunda menerimanya, matanya terbelak wajahnya pun sumringah menatap selembar kertas yang baru saja kuberikan. Tanpa sepatah kata pun, ia tersenyum, seraya memelukku dengan bahagia. “Anak Bunda pandai,” pujinya bangga. Hari ini, aku berhasil mendapatkan nilai 10 untuk ujian harianku.
            Aku menghela nafas bahagia, setidaknya aku memberikan yang terbaik untuk kedua orang tuaku. Rumahku memang sederhana, tak jauh dari pesisir pantai. Ayahku jangan ditanya, beliau adalah seorang pelaut handal yang selalu berlayar menjelajahi perairan dinusantara ini. Hanya dua bulan bahkan tiga bulan sekali ayah kembali ke rumah. Setelah itu pergi melaut lagi. Awalnya, kakek dan nenek menyarankan kami untuk pindah rumah, berganti pekerjaan yang lebih menjamin keselamatan. Tapi, Ayah dan Bunda selalu berkata bahwa hati mereka telah jatuh hati pada laut.
            Sore tiba, sinar matahari tampak bersinar terang diufuk sana. Bunda terlihat berkemas. Aku tahu, dalam beberapa menit lagi Bunda akan mengajakku ke tepi laut.
            “Halimah, ayo ikut Bunda!” serunya.
            Aku mengangguk. Setiap hari, Bunda selalu mengajakku ketempat istimewanya, tepi pantai yang menghadap kearah laut bebas, dan menatap senja yang akan tenggelam tergantikan oleh malam yang gelap. Ya, senjs.
            “Ini..” Bunda menyodorkan kotak untukku.
            Ah! ternyata itu adalah hadiah ulanganku kemarin, seuntai kalung yang dirangkai dengan indah dari beberapa karang juga bintang laut.
            “Terima kasih!”
            Bunda tersenyum manis.
            “Sampai kapan Bunda akan terus memandqangi senja?” tanyaku tiba-tiba.
            “Hingga akhir hayat nanti, Halimah. Senja memiliki arti yang besar bagi Bunda,” jawabnya yakin. “Senja, meski tak semua mau menatapnya, namun ia mempunya ribuan arti abgi Bunda. Menikkmati kebesaran Allah yang tak akan pernah ada yang menymainya,” ujarnya pelan.
            Bahkan, hingga kini aku masih tak dapat memahami mengapa Bunda begitu menyukai senja. Mengapa haru senja? Tapi, Bunda hanya menjawab bahwa itu hanyalah salah satu kebesaran Allah yang wajib disyukuri.
            Hari demi hari terus berlalu, bak air yang selalu mengalir dari hulu kehilir, aku tetap saja penasaran akan arti senja bagi Bunda. Hingga suatu hari, hal yang tak pernah kuharapkan datang menimpaku, Bunda dikabarkan hilang tenggelam, kapal ikan yang dinaikinya hancur diterkam badai laut yang kuat. Aku berlari kepesisir pantai berteriak memanggil Bunda untuk kembali. Namun, semua itu mustahil, ia telah kembali kepangkuan-Nya.
            Haruskah Bunda pergi dengan cepat, seperti sernja yang berlalu sangat cepat Bahkan, disaat aku belum mendapatkan arti senja bagi Bunda. Ayah menenangkanku, seraya berkata. “Jangan pernah menyalahkan arti senja, nak.. itu sangat berrarti untuk Bunda,’ ujarnya pelan, ayah menodorkan buku yang sudah tampak usang. Buku itu milik Bunda.
            Aku membukanya, disampingku ayah berusaha tegar menerima segala takdir yang sudah terjadi pada keluarga kami.
            Senja…
            Terima kasih ats semuanya, saat aku dapar menyatukan cinta dengan Rian, suamiku, saat Halimah lahir dan dapat melihat dunia dengan mata indahnya, saat aku selamat dari maut yang nyaris menimpaku. Meski aku tahu, disaat senja pun duka pun datang bersamaan, saat mama dan papa kembali padaMu. Saat rumah ini hancur oleh tepisan ombak. Tapi, aku bersyukur, saat aku masih bisa menatapu diatas sana, saat kau mengajarkan arti keindahan hidup.
            Terima kasih Senja..
            Aku menitikan air mata, menahan sakit yang amat mendalam, aku berusaha tegar menerima segala sesuatu yang telah terjadi.
            Semenjak, kejadian itu ayah mengajakku pindah ke kota. Mencoba melupakan memoriam yang terus menghantui pikiranku dan memulaik kehidupan baru disana. Senja, terima kasih telah mengajarku dan Bunda arti keindahan hidup.

0 komentar:

Posting Komentar