Advertise

Sabtu, 01 Agustus 2020

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN SYAMSUDDIN AS-SUMATRANI DALAM DUNIA TASAWUF

 


A. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah al-Syaikh Syamsuddin ibn ‘Abdullah as-Sumatrani, tetapi sering juga disebut Syamsuddin Pasai.[1] Merupakan ulama besar yang hidup di Aceh pada beberapa dasawarsa terakhir abad ke-16 dan tiga dasawarsa pertama abad ke-17. beliau menjadi mufti serta penasihat Sultan Iskandar Muda, seorang pembesar dan penghulu agama, dan ada juga yang menyebutkan bahwa beliau adalah seorang syeikh terkemuka yang berada di lingkungan kerajaan Aceh Darussalam.[2]
Menurut sebagian sejarawan, penisbahan namanya dengan sebutan sumatrani ataupun pasai mengisyaratkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan yang pertama, orang tuanya adalah orang Pasai (Sumatra). Dengan demikian, dapat diduga bahwa ia lahir dan dibesarkan di Pasai.
Jikalau tidak lahir di Pasai, maka hal ini merujuk pada kemungkinan yang kedua. Yaitu ulama tersebut merupakan ulama yang paling terkemuka dan telah lama menetap di Pasai, bahkan ia meninggal dan di kuburkan disana.[3]
Kedudukan Syamsuddin sebagai pembesar kerajaan bukanlah semata-mata karena hadiah dari raja.[4] Namun, menurut hikayat aceh, diangkatnya Syamsduddin as Sumatrani disebabkan oleh pengetahuannya yang luas dan pemikirannya yang tajam.
Syamsuddin al-sumatrani ialah murid dan sahabat Hamzah Fansuri yang mengkaji insan kamil melalui pemikirannya tentang martabat tujuh, karena hal ini lah ia mendapat kecaman dari al-Raniri.[5] Selain itu, ia juga meneruskan ajaran tentang wujudiyah yang pernah di kembangkan oleh Hamzah Fansuri.[6]  Namun, martabat tujuh inilah yang membedakan anatarn Syamsuddin dengan gurunya, karena tidak ditemukan pada ajaran Hamzah Fansuri.[7]
Menurut sumber-sumber yang ada, tidak diketahui dengan jelas kapan dan dimana Syamsuddin as-Sumatrani dilahirkan. Dalam buku Bustanul Salatin karya Nuruddin ar-Raniri hanya diperoleh penjelasan bahwa Syamsuddin as-Sumatrani wafat pada hari ke-12 bulan Rajab tahun 1039 H/1630 M. Dan hingga saat ini, letak jenazah Syamsuddin dimakamkan masih belum ditemukan.[8]
Disisi lain, Syamsuddin juga mendapat pertentangan dari ulama yang lain. Yang pertama kali mengecam adalah Nuruddin ar-raniri. Seorang ulama besar dan syeikh tarekat Rifaiah di India yang merantau dan kemudian menetap di Aceh.[9] Nuruddin al-raniri menyatakan bahwa ajaran Syamsuddin sejalan dengan Hamzah Fansuri, dan kemudian ia dijadikan musuh bersama oleh para pengikut Nuruddin al-Raniri.[10]
Kecaman dari Nuruddin berakhir buruk terhadap ajaran Syamsudin as Sumatrani.[11] Karena, seluruh ajaran dan karya Syamsuddin dibakar habis olehnya. Tidak hanya itu, Nuruddin berhasil membujuk Sultan Iskandar Tsani, sehingga ia meemerintahkan kepada seluruh rakyatnya agar meninggalkan ajaran Syamsuddin dan Nuruddin yang dinilai sesat.
B. Karya-Karya Syamsuddin as-Sumatrani
Karya-karya milik Syamsuddin as-Sumatrani ada yang ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu (jawi), diantaranya adalah: Jawhar al-Haqa’iq, merupakan karyanya yang paling lengkap. Syamsuddin menulis tentang martabat tujuh dan jalan agar lebih dekat kepada Allah.[12]
Kitab ini berjumlah sebanyak 30 halaman dan pernah disunting oleh Van Niewenhujize, seoramg sarjana Belanda yang pernah melakukan penelitian terhadap Syamsuddin as Sumatrani. Selain itu, kitab ini merupakan kitab terlengkap yang menjelaskan konsep tentang martabat tujuh. Dan menjelaskan tentang konsep tentang tasawwufnya.
Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwhhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah, yang berjumlah sebanyak 9 halaman menggunakan bahasa Arab. Buku ini menjelaskan perbedaan antara kaum mulhid dan perbedaan yang bukan mulhid.
Mir’at al-Mu’minin yang berjumlah sebanyak 70 halaman. Karya ini menjelaskan tentang keimanan kepada Allah SWT. Para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari akhirat, dan kadar-Nya. Dalam karya ini dijelaskan mengenai butir-butir aqidah, sejalan dengan faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tepatnya pada Asy’ariah-Sanusiah.
Syarah Ruba’I Hamzah Fansuri, berjumlah 24 halaman. Karya ini berisi tentang ulasan terhadap 39 bait atau 156 baris, syair Hamzah Fansuri. Isinya menjelaskan tentang pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud). Karya ini bukti yang cukup kuat bahwa Syamsuddin as-Sumatrani adalah penyambung aktivis dna bertanggung jawab menyebarkan ajaran agama gurunya Hamzah Fansuri.[13]
Nur al-Dawa’iq, berjumlah 9 halaman berbahasa Arab dan 19 halaman berbahasa Melayu. Karya ini menjelaskan tentang rasahia Ilmu Ma’rifah atau martabat tujuh.
Thariq al-Salikin, berjumlah 18 halaman dan berbahasa Melayu. Karya ini mengandung penjelasan tentang sejumlah istilah, seperti wujud, ‘adam, haqq, bathil, wajib, mumkin, mumtani’ dan sebagainya.
Mir’at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur berjumlah 12 halaman, berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah, martabat tujuh dan tentang roh. Kitab al-Harakah 4 halaman, ada yang berbahasa Arab dan ada pula yang berbahasa Melayu. Karya ini berbicara tentang ma’rifah atau martabat tujuh.[14]
D. Kesimpulan
Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani adalah seorang ulama besar Aceh yang hidup pada Abad ke-16 dan ke-17 Masehi. Beliau merupakan murid dari seorang Ulama yang dikenal dengan nama Hamzah al-Fansuri. Meskipun secara pasti tidak diketahui kelahiran beliau namun dari namanya menunjukkan bahwa beliau merupakan Ulama yang berasal dari Pasai (Aceh).
Syamsuddin mendapat kecaman dari Nuruddin ar Raniri, karena dinilai ajaran yang disebarkan olehnya dinilai sesat. Bahkan seluruh hasil karyanya di bakar habis.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Ensikopedi Tasawuf, (Penerbit Angkasa : Bandung, 2008)
Firdaus, Meretas Jejak Sufisme di Nusantara, Jurnal Al_Adyan, Volume 13, No. 2, Juli-Desember 2018
Hadi, Arki Aulia, Perkembangan Awal Islam di Nusantara dan Wacana Sifistik Tasawuf Falsafi Pada Abad 17, Journal of Islamic Studies, Vol. 03, No. 01 Januari-Juni 2019.
Kharlie, Ahmad Tholabi, Pergumulan Pemikiran Mistiko Filosofi di Nusantara Abad 16-18 M, (Jurnal Qalam, Vol. 23 No.2 (Mei-Agustus 2006).)
Suwondo, Tirto, Syamsuddin As-Sumatrani (Riwayat, Karya, Ajaran, Kecaman, dan Pembelaannya), Jurnal Pengkajian dan Penelitian Sastera Asia Tenggara, Juli-Desember 1998, Bilangan 7/Jilid 4.
Syahid, Ahmad, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia (Tradisi, Intelektual, dan Sosial, (Penerbit Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan : Jakarta, 2015.



[1]Azyumardi Azra, Ensikopedi Tasawuf, (Penerbit Angkasa : Bandung, 2008), h. 1200
[2]Tirto Suwondo, Syamsuddin As-Sumatrani; Riwayat, Karya, Ajaran, Kecaman, dan Pembelaannya, dalam Jurnal Pengkajian dan Penelitian Sastera Asia Tenggara, (Juli-Desember 1998), 50.
[3] Firdaus, Meretas Jejak Sufisme di Nusantara, dalam Jurnal Al-Adyan , Volume 13, No. 2, (Juli-Desember 2018), 11.
[4] Tirto Suwondo, Syamsuddin As-Sumatrani; Riwayat, Karya, Ajaran, Kecaman, dan Pembelaannya,… Hal. 49
[5]Ahmad Tholabi Kharlie, Pergumulan Pemikiran Mistiko Filosofi di Nusantara Abad 16-18 M, dalam Jurnal Qalam, Vol. 23 No.2 (Mei-Agustus 2006).) Hal. 232
[6]Arki Aulia Hadi, Perkembangan Awal Islam di Nusantara dan Wacana Sifistik Tasawuf Falsafi Pada Abad 17, dalam Journal of Islamic Studies, Vol. 03, No. 01 (Januari-Juni 2019). Hal. 7
[7] Arki Aulia Hadi, Perkembangan Awal Islam di Nusantara dan Wacana Sifistik Tasawuf Falsafi Pada Abad 17,… hal 8
[8] Tirto Suwondo, Syamsuddin As-Sumatrani; Riwayat, Karya, Ajaran, Kecaman, dan Pembelaannya,… Hal. 50.
[9] Tirto Suwondo, Syamsuddin As-Sumatrani; Riwayat, Karya, Ajaran, Kecaman, dan Pembelaannya, … Hal. 55
[10] Ahmad Tholabi Kharlie, Pergumulan Pemikiran Mistiko Filosofi di Nusantara Abad 16-18 M…., Hal. 233
[11] Tirto Suwondo, Syamsuddin As-Sumatrani; Riwayat, Karya, Ajaran, Kecaman, dan Pembelaannya,… Hal. 55.
[12]Ahmad Syahid, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia (Tradisi, Intelektual, dan Sosial, (Penerbit Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan : Jakarta, 2015) Hal. 85.
[13]Tirto Suwondo, Syamsuddin As-Sumatrani; Riwayat, Karya, Ajaran, Kecaman, dan Pembelaannya …, Hal. 51
[14]Ahmad Syahid, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia (Tradisi, Intelektual, dan Sosial)..., Hal. 85.