Advertise

Jumat, 21 Juli 2023

ALUNAN YANG BERLALU


Biarkan melody itu berlalu

Menghantarkan nada untuk melaju

Tanpa berpaling dari yang berlalu

Demi terciptanya alunan lagu yang merdu

            Hidup adalah pilihan

            Dari nanti yang akan ditentukan

            Tak perlu ragu dan sungkan

            Akan pilihan hanti yang ditetapkan

Kini, mungkin ada kejadian

Namun, esok hanyalah kenangan

Terkadang, kenangan mematikan

Namun, ia pun menghidupkan

            Karena semua itu tak akan mungkin kembali

            Meski hanya sesaat

Hanya diri yang mampu mengubah

Akan segala perubahan yang terjadi

Dari kenangan yang telah berlalu

Selasa, 11 Juli 2023

MERINDU DIBALIK SENJA

           


               Ombak tampak menyapu lembut pesisir pantai, pasir putih bak perak yang berkilauan saat sinar matahari menyentuhnya. Hening, hanya desis ombak yang bergemeruh setiap waktunya. Biru yang tenang, namun menyimpan banyak misteri tentang panorama alam yang memukau.
            Aku berlari kencang, sambil menenteng sepatu hitamku yang tampak lusuh dan kusam., tanpa peduli sedikit pun dengan deburan ombak yang menabrak jemari kakiku. Tanpa mengucap salam, aku menerobos masuk kedalam rumah. Mencari Bunda yang tengah menibukkan diri dengan pekerjaan rumahnya.
            “Bunda!” seruku dengan nafas tersenggal, seraya menyodorkan sehelai kertas.
            Bunda menerimanya, matanya terbelak wajahnya pun sumringah menatap selembar kertas yang baru saja kuberikan. Tanpa sepatah kata pun, ia tersenyum, seraya memelukku dengan bahagia. “Anak Bunda pandai,” pujinya bangga. Hari ini, aku berhasil mendapatkan nilai 10 untuk ujian harianku.
            Aku menghela nafas bahagia, setidaknya aku memberikan yang terbaik untuk kedua orang tuaku. Rumahku memang sederhana, tak jauh dari pesisir pantai. Ayahku jangan ditanya, beliau adalah seorang pelaut handal yang selalu berlayar menjelajahi perairan dinusantara ini. Hanya dua bulan bahkan tiga bulan sekali ayah kembali ke rumah. Setelah itu pergi melaut lagi. Awalnya, kakek dan nenek menyarankan kami untuk pindah rumah, berganti pekerjaan yang lebih menjamin keselamatan. Tapi, Ayah dan Bunda selalu berkata bahwa hati mereka telah jatuh hati pada laut.
            Sore tiba, sinar matahari tampak bersinar terang diufuk sana. Bunda terlihat berkemas. Aku tahu, dalam beberapa menit lagi Bunda akan mengajakku ke tepi laut.
            “Halimah, ayo ikut Bunda!” serunya.
            Aku mengangguk. Setiap hari, Bunda selalu mengajakku ketempat istimewanya, tepi pantai yang menghadap kearah laut bebas, dan menatap senja yang akan tenggelam tergantikan oleh malam yang gelap. Ya, senjs.
            “Ini..” Bunda menyodorkan kotak untukku.
            Ah! ternyata itu adalah hadiah ulanganku kemarin, seuntai kalung yang dirangkai dengan indah dari beberapa karang juga bintang laut.
            “Terima kasih!”
            Bunda tersenyum manis.
            “Sampai kapan Bunda akan terus memandqangi senja?” tanyaku tiba-tiba.
            “Hingga akhir hayat nanti, Halimah. Senja memiliki arti yang besar bagi Bunda,” jawabnya yakin. “Senja, meski tak semua mau menatapnya, namun ia mempunya ribuan arti abgi Bunda. Menikkmati kebesaran Allah yang tak akan pernah ada yang menymainya,” ujarnya pelan.
            Bahkan, hingga kini aku masih tak dapat memahami mengapa Bunda begitu menyukai senja. Mengapa haru senja? Tapi, Bunda hanya menjawab bahwa itu hanyalah salah satu kebesaran Allah yang wajib disyukuri.
            Hari demi hari terus berlalu, bak air yang selalu mengalir dari hulu kehilir, aku tetap saja penasaran akan arti senja bagi Bunda. Hingga suatu hari, hal yang tak pernah kuharapkan datang menimpaku, Bunda dikabarkan hilang tenggelam, kapal ikan yang dinaikinya hancur diterkam badai laut yang kuat. Aku berlari kepesisir pantai berteriak memanggil Bunda untuk kembali. Namun, semua itu mustahil, ia telah kembali kepangkuan-Nya.
            Haruskah Bunda pergi dengan cepat, seperti sernja yang berlalu sangat cepat Bahkan, disaat aku belum mendapatkan arti senja bagi Bunda. Ayah menenangkanku, seraya berkata. “Jangan pernah menyalahkan arti senja, nak.. itu sangat berrarti untuk Bunda,’ ujarnya pelan, ayah menodorkan buku yang sudah tampak usang. Buku itu milik Bunda.
            Aku membukanya, disampingku ayah berusaha tegar menerima segala takdir yang sudah terjadi pada keluarga kami.
            Senja…
            Terima kasih ats semuanya, saat aku dapar menyatukan cinta dengan Rian, suamiku, saat Halimah lahir dan dapat melihat dunia dengan mata indahnya, saat aku selamat dari maut yang nyaris menimpaku. Meski aku tahu, disaat senja pun duka pun datang bersamaan, saat mama dan papa kembali padaMu. Saat rumah ini hancur oleh tepisan ombak. Tapi, aku bersyukur, saat aku masih bisa menatapu diatas sana, saat kau mengajarkan arti keindahan hidup.
            Terima kasih Senja..
            Aku menitikan air mata, menahan sakit yang amat mendalam, aku berusaha tegar menerima segala sesuatu yang telah terjadi.
            Semenjak, kejadian itu ayah mengajakku pindah ke kota. Mencoba melupakan memoriam yang terus menghantui pikiranku dan memulaik kehidupan baru disana. Senja, terima kasih telah mengajarku dan Bunda arti keindahan hidup.

Minggu, 09 Juli 2023

6 Nasihat Imam Al Ghazali

 


Nasehat Penuh Makna Imam al-Ghazali :
Pertama, Yang Paling Dekat Ialah Mati
Imam al-Ghazali pernah bertanya kepada murid-murid beliau tentang apa yang paling dekat dengan kita dalam kehidupan ini. Diantara murid – murid beliau ada yang menjawab orang tua, guru, teman,dan kerabatnya. Imam al-Ghazali kemudian menjelaskan bahwa yang paling dekat dengan adalah “Mati”, karena mati itu Janji Allah yang pasti akan menimpa semua insan bernyawa.
Kedua, Yang Paling Jauh Adalah Masa Lalu
Imam al-Ghazali menjelaskan yang paling jauh adalah masa lalu, karena bagaimanapun caranya kita tidak bisa kembali ke masa lalu, karena itu jangan membanggakan kebaikan di masa lalu. Teruslah meningkatkan kebaikan untuk hari ini dan esok hari.
Ketiga, Yang Paling Besar Adalah Nafsu
Masalah paling besar yang harus kita hadapi ialah Nafsu. Acapkali Nafsu menjerumuskan manusia ke jurang nista hingga kehidupannya di dunia hancur, dan azab menunggu setelah kematian.
Keempat, Yang Paling Berat Adalah Menanggung Amanah
Tumbuh – tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mau menerima ketika Allah Swt. meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) didunia ini, tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah Swt., sehingga menyebabkan manusia banyak masuk neraka karena tidak sanggup menanggung Amanah.
Kelima, Yang Paling Ringan Ialah Meninggalkan Shalat
Hanya karena kesibukan kecil, manusia rela meninggalkan shalat. Padalah shalat adalah tiang agama. Jika manusia hanya hidup untuk mencari makan dan kesenangan maka tidak ada bedanya manusia dengan binatang
Keenam, Yang Paling Tajam Ialah Lidah
Dengan Lidah manusia menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya. Kita sering mendengar pepatah bijak mengenai bahaya lidah, yaitu: “Kalau pedang melukai tubuh ada harapan akan sembuh, tapi kalau lidah melukai hati kemana obat hendak di cari”

Sabtu, 08 Juli 2023

Belaian Kasih


 

Pepohonan begitu lebat sepanjang perjalanan, bergoyang mengikuti arah angin yang berhembus lembut. Menambah keadaan udara semakin asri. Deretan pohon lebat itu berwarna hijau, berjejer rapi seperti membentuk barisan. Intan berjalan santai, sekedar untuk menikmati suasana desanya yang sudah lama tidak ia kunjungi.

Sesaat, Intan berteduh di salah satu pohon besar dan rindang. Ia menatapnya dan memperhatikan dengan seksama. Benar apa yang dikatakan salah satu pegawainya dulu. Keluarga adalah tempat kembali bahkan disaat dirinya tidak dapat memberi apa yang telah diberinya dahulu.

:::::

Intan lahir diantara keluarga yang sederhana, bukan miskin namun segala hasil nafkah kedua orang tuanya hanya cukup untuk kebutuhan hari-harinya saja. Intan tumbuh seperti halnya anak-anak yang lainnya, ia dapat bermain bahagia bersama teman-teman kecilnya, ia bisa berangkat ke sekolah di setiap pagi.

Kini Intan tumbuh menjadi seorang pengusaha yang sukses di kotanya. Ia tinggal seorang diri di rumah mewahnya, kedua orang tuanya tidak mau untuk diajak tinggal di kota. Memilih untuk menghabiskan sisa hidup di desa tempat Intan lahir.

Kesuksesan Intan merupakan hasil kerja kerasnya dulu, ia memang tidak menempuh pendidikan yang tinggi. Karena, disaat usia remaja Intan memutuskan untuk mengadu nasib ke kota dengan hanya berbekal uang hasil celengan keluarga yang diberi oleh kedua orang tuanya. Kini kafe yang dikelola Intan banyak dikunjungi oleh para pelanggannya yang berkalangan atas.

“Mbak Intan,” seseorang memanggilnya.

Intan pun sontak menoleh, “Ya, kenapa Mila?” tanyanya pada pegawainya yang memanggil. “Apa ada masalah?”

“Tidak Mbak Intan, hanya saja orang tua Mbak menelfon ke telfon cafe ini, sudah beberapa kali dan menanyakan Mbak. Alangkah baiknya jika mbak Intan menghubungi kedua orang tua Mbak,” ujar Mila.

“Baik,” sahut Intan. “Terima kasih, Mil.”

Intan segera menuju kantor pribadinya, disana ia segera menghubungi kedua irang tuanya di kampung.

“Assalamu’alaikum,” salam seseorang di sebrang sana.

“Wa’alaikum salam,” jawab Intan. “Ini Intan Bu, Ibu apa kabar?”

“Ya Allah Intan, iya ibu dan bapakmu Alhamdulillah sehat. Kamu sehat nak? Apa sedang ada masalah disana? Mengapa jarang memberi kabar?”

“Alhamdulillah, Intan sehat juga ibu. Maafkan Intan ya Bu, jarang memberi kabar. Akhir-akhir ini Alhamdulillah cafenya banyak dikunjungi orang dan pelanggan Bu. Terkadang, saat Intan pulang, Intan langsung beristirahat.”

“Mana Intan,” suara bapak di sebrang terdengar jelas di telfon.

“Bapak, apa kabar?”

“Baik nduk, Alhamdulillah bapak sehat. Kapan kamu pulang? Bapak kangen sama Inran.”

“Iya pak, Intan juga sebenarnya kangen banget sama bapak dan ibu. Tapi, Intan belum bisa pulang bulan ini.”

Tak terasa tiga puluh menit, Intan menelfon kedua orang tuanya. Melepas rindu di tengah kesibukan Intan yang begitu melelahkan.

Cafe yang dirintis dengan jerih payah Intan, kini ramai dikunjungi oleh para pelanggan. Membuat cafe ini tidak pernah sepi, selain makanan yang enak pelayanannya pun juga sangat ramah.

Namun, tidak semua usaha berjalan mulus seperti yang diinginkan oleh Intan. Saat tengah malam, handpone Intan berbunyi.

“Mbak Intan, Mbak Intan..” Naura, salah satu pegawai Intan bersorak cemas.

“Kenapa Naura, coba jelaskan dengan tenang!”

“Cafenya, mbak.. terbakar!”

Intan tercengang, baru saja ia ingin beranjak tidur setelah membersihkan dirinya. Ini sudah tengah malam, namun Intan justru mendapatkan kabar yang buruk. Dengan sigap, Intan segera meluncur ke cafe yang hanya berjarak dua kilometer dari rumahnya.

“Bagaimana bisa terjadi?” tanya Intan panik.

“Entahlah mbak, baru saja saya tiba di rumah. Dari kejauhan saya melihat asap hitam yang tebal. Ternyata, kakak saya yang mengabarkan kalau asap kebakaran itu berasal dari cafe ini, Mbak,” jawab Naura.

Kobaran api semakin membesar. Para warga yang hadir di tempat kejadian, berusaha untuk membantu memadamkan api dengan alat seadanya. Mobil pemadam kebakaran belum tiba. Usaha yang dilakukan warga tidak membuahkan hasil, api semakin berkobar. Beberapa orang yang bermukim di sekitar cafe tersebut menjadi panik, khawatir bila apinya menjalar ke tempat lain.

Intan terduduk, tangannya ia telengkupkan ke wajahnya.

Mengapa semua terjadi begitu cepat? Batin Intan dalam hati.

Waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Mobil pemadam kebakaran sudah tiba satu jam yang lalu. Akhirnya, dengan segala usaha yang dilakukan oleh warga dan petugas pemadam kebakaran api pun dapat dipadamkan.

Intan yang masih terlihat shock, dibawa ke kediaman salah satu pegawainya. Naura, rumahnya hanya berjarak seratus meter dari cafe tersebut.

“Tenang, mbak Intan.. semua akan baik-baik saja,” Naura berusaha menenangkan Intan. Ia menyodorkan segelas air putih agar Intan minum.

Intan menerimanya, ia meminumnya dengan perlahan. “Keluargaku pasti akan kecewa, saat aku pulang nanti.”

“Tidak Mbak, Mbak Intan salah. Keluarga Mbak pasti akan menerima bagaimana pun keadaan Mbak Intan, bahkan dikala Mbak Intan kesusahan,” ujar Naura.

Dalam sekejap, api dapat membakar kedai kafe milik Intan. Yang tersisa hanyalah puing-puing bangunan yang sudah rata dengan tanah. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan, semua prabotan cafe, prabotan masak dan bangunan yang berdeseain kan unik berubah menjadi abu. Semua hangus dalam sekejap. Saat ini Intan mengalami kerugian yang cukup besar.

Keesokannya, Intan memilih untuk pulang ke rumahnya yang di desa sejenak. Menenangkan pikiran, melepaskan rindu yang dalam. Meski, masih tersimpan rasa malu yang besar saat ia kembali ke keluarganya.

“Mbak Intan!” pekik Anis, adiknya. Ia berlari memeluk Intan. “Ibu, bapak.. Mbak Intan pulang!” Anis membantu Intan membawakan barang-barangnya.

Intan memasuki rumah dengan wajah tertunduk. Sang ibu datang dengan tergopoh-gopoh memeluk Intan dengan hangat. Intan terisak.

“Maafkan Intan Bu. Intan kembali dengan membawa kerugian yang begitu besar,” ujar Intan. “Maafkan Intan Ibu..”

“Kamu kembali ke sini saja, Ibu sudah cukup bahagia Intan,” ujar Ibu sambil mengelus bahu Intan yang berguncang karena tangisannya.

Anis mengantarkan Intan ke kamarnya. Entah apa yang ada dipikiran Intan saat ini, ia terlihat lebih banyak melamun. Namun, untunglah, keadaan Intan semakin hari semakin membaik. Setiap saat ia membantu pekerjaan rumah, berusaha mendamaikan pikiran dan hatinya,

Sore ini Intan berjalan-jalan di sekeliling kampungnya. Pepohonan lebat tertanam di sepanjang jalan setapak yang ia lalui. Pohon yang selalu memberikan manfaat yang banyak bagi orang banyak. Ah, Intan ingat akan sepenggal cerita yang pernah diceritakan oleh gurunya dulu.

Pohon itu ibarat orang tua.

Ada anak kecil yang ia selalu tertawa dan bercanda ria dibawah pohon yang rindang, memainkan dedaunnanya maupun menaiki batangnya. Disaat pohon itu berbuah, anak yang sudah mulai tumbuh remaja itu pun mengambil buah yang dapat dikonsumsi oleh dirinya. Saat anak itu mulai beranjak dewasa, pohon bahkan rela memberikan batangnya hingga habis untuk dimanfaatkan anak itu dan dijual. Dan lihatlah, disaat tua dan tidak ada tempat untuk bersandar anak yang sudah menua itu pun kembali ke pohon itu, meski hanya duduk diatas gundukan bekas tebangannya dahulu.

Sama seperti iorang tua, sejak kecil merekalah yang mengayomi dengan sabar. Hingga tumbuh menjadi anak remaja, orang tua akan selalu memberikan apa yang dapat diberi, bahkan ketika dewasa, orang tua pun rela memebri hartanya untuk anaknya demi masa depannya. Dan disaat masalah menimpa atau masa tua tiba, orang tua pun bahkan bersedia menerima anaknya kembali dalam berbagai keadaan pun.

Hari ini, Intan berjanji, ia akan menghabiskan umurnya untuk berbakti kepada orang tuanya.

Selasa, 04 Juli 2023

Filosofi Akar

 


Berbuat Baiklah! selama nafas masih bisa dihirup, dunia masih bisa dipandangi, kasih sayang masih bisa dirasakan, bahkan sebelum maut datang untuk menejmput.

Selama melakukan kebaikan, tidak perlu dipandang, atau dilihat oelh jutaan pasang mata. Cukuplah, diri ini juga Allah Swt. yang tahu akan kebaikan kita. Tak perlu terlihat, tak perlu berharap pujian, tak perlu mengumbar. Lakukan dengan segala keikhlasan.

Jadilah seperti akar, setiap harinya ia terus tumbuh kebawah untuk mencari sumber penghidupan, bukan untuk dirinya namun untuk menghidupi pohon yang berdiri tegak diatasnya. tanpa terlihat sedikit pun oleh sang pohon yang tumbuh diatasnya. Ia tak kecewa saat pohon tidak mengetahui, bahwa akar berbuat sedemikian rupa hanya untuk menghidupinya. Namun, ia tetap ikhlas melakukan kebaikan, untuk dirinya bahkan orang lain.

Berbuat baiklah dengan segala keikhlasanmu!