Pepohonan
begitu lebat sepanjang perjalanan, bergoyang mengikuti arah angin yang
berhembus lembut. Menambah keadaan udara semakin asri. Deretan pohon lebat itu
berwarna hijau, berjejer rapi seperti membentuk barisan. Intan berjalan santai,
sekedar untuk menikmati suasana desanya yang sudah lama tidak ia kunjungi.
Sesaat,
Intan berteduh di salah satu pohon besar dan rindang. Ia menatapnya dan
memperhatikan dengan seksama. Benar apa yang dikatakan salah satu pegawainya
dulu. Keluarga adalah tempat kembali bahkan disaat dirinya tidak dapat memberi
apa yang telah diberinya dahulu.
:::::
Intan
lahir diantara keluarga yang sederhana, bukan miskin namun segala hasil nafkah
kedua orang tuanya hanya cukup untuk kebutuhan hari-harinya saja. Intan tumbuh
seperti halnya anak-anak yang lainnya, ia dapat bermain bahagia bersama
teman-teman kecilnya, ia bisa berangkat ke sekolah di setiap pagi.
Kini Intan tumbuh menjadi seorang pengusaha yang sukses
di kotanya. Ia tinggal seorang diri di rumah mewahnya, kedua orang tuanya tidak
mau untuk diajak tinggal di kota. Memilih untuk menghabiskan sisa hidup di desa
tempat Intan lahir.
Kesuksesan Intan merupakan hasil kerja kerasnya dulu, ia
memang tidak menempuh pendidikan yang tinggi. Karena, disaat usia remaja Intan
memutuskan untuk mengadu nasib ke kota dengan hanya berbekal uang hasil
celengan keluarga yang diberi oleh kedua orang tuanya. Kini kafe yang dikelola
Intan banyak dikunjungi oleh para pelanggannya yang berkalangan atas.
“Mbak Intan,” seseorang memanggilnya.
Intan pun sontak menoleh, “Ya, kenapa Mila?” tanyanya
pada pegawainya yang memanggil. “Apa ada masalah?”
“Tidak Mbak Intan, hanya saja orang tua Mbak menelfon ke
telfon cafe ini, sudah beberapa kali dan menanyakan Mbak. Alangkah baiknya jika
mbak Intan menghubungi kedua orang tua Mbak,” ujar Mila.
“Baik,” sahut Intan. “Terima kasih, Mil.”
Intan segera menuju kantor pribadinya, disana ia segera
menghubungi kedua irang tuanya di kampung.
“Assalamu’alaikum,” salam seseorang di sebrang sana.
“Wa’alaikum salam,” jawab Intan. “Ini Intan Bu, Ibu apa
kabar?”
“Ya Allah Intan, iya ibu dan bapakmu Alhamdulillah sehat.
Kamu sehat nak? Apa sedang ada masalah disana? Mengapa jarang memberi kabar?”
“Alhamdulillah, Intan sehat juga ibu. Maafkan Intan ya
Bu, jarang memberi kabar. Akhir-akhir ini Alhamdulillah cafenya banyak
dikunjungi orang dan pelanggan Bu. Terkadang, saat Intan pulang, Intan langsung
beristirahat.”
“Mana Intan,” suara bapak di sebrang terdengar jelas di
telfon.
“Bapak, apa kabar?”
“Baik nduk, Alhamdulillah bapak sehat. Kapan kamu
pulang? Bapak kangen sama Inran.”
“Iya pak, Intan juga sebenarnya kangen banget sama bapak
dan ibu. Tapi, Intan belum bisa pulang bulan ini.”
Tak terasa tiga puluh menit, Intan menelfon kedua orang
tuanya. Melepas rindu di tengah kesibukan Intan yang begitu melelahkan.
Cafe yang dirintis dengan jerih payah Intan, kini ramai
dikunjungi oleh para pelanggan. Membuat cafe ini tidak pernah sepi, selain
makanan yang enak pelayanannya pun juga sangat ramah.
Namun, tidak semua usaha berjalan mulus seperti yang
diinginkan oleh Intan. Saat tengah malam, handpone Intan berbunyi.
“Mbak Intan, Mbak Intan..” Naura, salah satu pegawai
Intan bersorak cemas.
“Kenapa Naura, coba jelaskan dengan tenang!”
“Cafenya, mbak.. terbakar!”
Intan tercengang, baru saja ia ingin beranjak tidur
setelah membersihkan dirinya. Ini sudah tengah malam, namun Intan justru
mendapatkan kabar yang buruk. Dengan sigap, Intan segera meluncur ke cafe yang
hanya berjarak dua kilometer dari rumahnya.
“Bagaimana bisa terjadi?” tanya Intan panik.
“Entahlah mbak, baru saja saya tiba di rumah. Dari
kejauhan saya melihat asap hitam yang tebal. Ternyata, kakak saya yang
mengabarkan kalau asap kebakaran itu berasal dari cafe ini, Mbak,” jawab Naura.
Kobaran api semakin membesar. Para warga yang hadir di
tempat kejadian, berusaha untuk membantu memadamkan api dengan alat seadanya.
Mobil pemadam kebakaran belum tiba. Usaha yang dilakukan warga tidak membuahkan
hasil, api semakin berkobar. Beberapa orang yang bermukim di sekitar cafe
tersebut menjadi panik, khawatir bila apinya menjalar ke tempat lain.
Intan terduduk, tangannya ia telengkupkan ke wajahnya.
Mengapa semua terjadi begitu cepat? Batin Intan dalam hati.
Waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Mobil pemadam
kebakaran sudah tiba satu jam yang lalu. Akhirnya, dengan segala usaha yang
dilakukan oleh warga dan petugas pemadam kebakaran api pun dapat dipadamkan.
Intan yang masih terlihat shock, dibawa ke kediaman salah
satu pegawainya. Naura, rumahnya hanya berjarak seratus meter dari cafe
tersebut.
“Tenang, mbak Intan.. semua akan baik-baik saja,” Naura
berusaha menenangkan Intan. Ia menyodorkan segelas air putih agar Intan minum.
Intan menerimanya, ia meminumnya dengan perlahan.
“Keluargaku pasti akan kecewa, saat aku pulang nanti.”
“Tidak Mbak, Mbak Intan salah. Keluarga Mbak pasti akan
menerima bagaimana pun keadaan Mbak Intan, bahkan dikala Mbak Intan kesusahan,”
ujar Naura.
Dalam sekejap, api dapat membakar kedai kafe milik Intan.
Yang tersisa hanyalah puing-puing bangunan yang sudah rata dengan tanah. Tidak
ada lagi yang bisa diharapkan, semua prabotan cafe, prabotan masak dan bangunan
yang berdeseain kan unik berubah menjadi abu. Semua hangus dalam sekejap. Saat
ini Intan mengalami kerugian yang cukup besar.
Keesokannya, Intan memilih untuk pulang ke rumahnya yang
di desa sejenak. Menenangkan pikiran, melepaskan rindu yang dalam. Meski, masih
tersimpan rasa malu yang besar saat ia kembali ke keluarganya.
“Mbak Intan!” pekik Anis, adiknya. Ia berlari memeluk
Intan. “Ibu, bapak.. Mbak Intan pulang!” Anis membantu Intan membawakan
barang-barangnya.
Intan memasuki rumah dengan wajah tertunduk. Sang ibu
datang dengan tergopoh-gopoh memeluk Intan dengan hangat. Intan terisak.
“Maafkan Intan Bu. Intan kembali dengan membawa kerugian
yang begitu besar,” ujar Intan. “Maafkan Intan
Ibu..”
“Kamu
kembali ke sini saja, Ibu sudah cukup bahagia Intan,” ujar Ibu sambil mengelus
bahu Intan yang berguncang karena tangisannya.
Anis
mengantarkan Intan ke kamarnya. Entah apa yang ada dipikiran Intan saat ini, ia
terlihat lebih banyak melamun. Namun, untunglah, keadaan Intan semakin hari
semakin membaik. Setiap saat ia membantu pekerjaan rumah, berusaha mendamaikan
pikiran dan hatinya,
Sore
ini Intan berjalan-jalan di sekeliling kampungnya. Pepohonan lebat tertanam di
sepanjang jalan setapak yang ia lalui. Pohon yang selalu memberikan manfaat
yang banyak bagi orang banyak. Ah, Intan ingat akan sepenggal cerita yang
pernah diceritakan oleh gurunya dulu.
Pohon
itu ibarat orang tua.
Ada
anak kecil yang ia selalu tertawa dan bercanda ria dibawah pohon yang rindang,
memainkan dedaunnanya maupun menaiki batangnya. Disaat pohon itu berbuah, anak
yang sudah mulai tumbuh remaja itu pun mengambil buah yang dapat dikonsumsi
oleh dirinya. Saat anak itu mulai beranjak dewasa, pohon bahkan rela memberikan
batangnya hingga habis untuk dimanfaatkan anak itu dan dijual. Dan lihatlah,
disaat tua dan tidak ada tempat untuk bersandar anak yang sudah menua itu pun
kembali ke pohon itu, meski hanya duduk diatas gundukan bekas tebangannya
dahulu.
Sama
seperti iorang tua, sejak kecil merekalah yang mengayomi dengan sabar. Hingga
tumbuh menjadi anak remaja, orang tua akan selalu memberikan apa yang dapat
diberi, bahkan ketika dewasa, orang tua pun rela memebri hartanya untuk anaknya
demi masa depannya. Dan disaat masalah menimpa atau masa tua tiba, orang tua pun
bahkan bersedia menerima anaknya kembali dalam berbagai keadaan pun.
Hari
ini, Intan berjanji, ia akan menghabiskan umurnya untuk berbakti kepada orang
tuanya.